Bukan tanpa pertimbangan saat Pangeran Mangkubumi memilih Ambarketawang sebagai pesanggrahan. Selepas Perjanjian Giyanti 13 Februari 1755 yang membagi Kerajaan Mataram menjadi dua berbatas Kali Opak, putra Amangkurat IV yang dinobatkan sebagai Sri Sultan Hamengkubuwana I pada 13 Maret 1755. Raja pertama Ngayogyakarta Hadiningrat ini mempersiapkan pembangunan keraton baru di sebuah pesanggrahan di kaki Gunung Gamping.Pesanggrahan (sanggraha berarti berkumpul, perjamuan, dan perlindungan) Ambarketawang sejatinya bukan tempat yang baru bagi wangsa Mataram. Selain bersejarah tempat ini juga bertuah. Pada masa Sultan Agung tempat ini dikenal sebagai Purapara, yakni benteng dan istana untuk persinggahan para raja dan keluarganya. Nama Ambarketawang sendiri merupakan pemberian Pangeran Mangkubumi yang bermakna tempat tinggi (tawang) yang semerbak harum (ambar, ngambar arum artinya harum).Selama setahun (9 Oktober 1755- 7 Oktober 1756) HB I menetap di Pesanggrahan Ambarketawang dan memantau pembangunan keraton baru di Pacethokan. Keberadaan HB I selama di Pesanggrahan Ambarketawang ditandai dengan candrasengkala “Pak dipa ngupakara anake”, yang kurang lebih bermakna pemimpin yang dekat dengan rakyat, yaitu sikap kebapakan di dalam mengelola (ngupakara) rakyat dan kawula.Menurut Serat Cebolek, pribadi HB I dikisahkan selain taat beribadah juga mempunyai kebiasaan puasa Senin-Kamis, salat lima waktu dan mengaji Alquran. Serat ini juga melukiskan kegemaran HB I untuk mengembara, mendekati masyarakat, dan menolong yang lemah. Sifat dan kepribadian inilah yang mampu melahirkan kesetiaan para abdi dan rakyatnya.
Selama di Pesanggrahan Ambarketawang HB I mempunyai tiga abdi dalem yang dikasihi. Ketiganya adalah Wirasuta, Wirajamba, Wiradana. Namun menurut Sugito, juru kebersihan Situs Gunung Gamping, ada satu lagi abdi dalem yang bernama Wiratani yang makamnya di belakang Masjid Begelen, Purworejo. Terkait Wirasuta sudah banyak diketahui publik melalui tradisi Saparan Bekakak.Sedangkan Wirajamba makamnya berada di Makam Suruh, Dusun Gancahan, Sidomulyo, Godean, Sleman. Menurut Masrokhim Imam, Ketua Kalurahan Budaya Sidomulyo, suatu saat HB I mengembara ke utara dan bertemu orang tua yang sedang mencari ikan. Wirajamba, orang tua itu ternyata putra Sinuwun Paku Buwono I dari istri selir Nyai Cumbing. Menarik dicermati upaya Pemerintah Kalurahan Sidomulyo untuk menggelar Sadran Agung Kyai Wirajamba.HB I dikenal sebagai raja besar wangsa Mataram setelah Sultan Agung. Peninggalannya yang monumental adalah Tamansari, Beksan Lawung, Tarian Wayang Wong Lakon Gondowerdaya, Tarian Eteng, dan seni Wayang Purwo. Peninggalan berupa Konsep Watak Satriya antara lain Nyawiji (konsentrasi total), Greget (semangat jiwa), Sengguh (percaya diri) dan Ora Mingguh (penuh tanggung jawab). Filsafat hidup seperti Golong gilig Manunggaling Kawula Gusti (hubungan yang erat antara rakyat dengan raja dan antara umat dengan Tuhan) serta Hamemayu Hayuning Bawono (menjaga kelestarian alam) kini diangkat menjadi karakter keyogyakartaan.Terkait situs Gunung Gamping yang terletak di belakang Pesanggrahan Ambarketawang, kini berada di bawah pengawasan BKSDA Yogyakarta dan dijadikan cagar budaya. Seorang geolog berkebangsaan Jerman, Franz Wilhelm Junghuhn pada tahun 1835-1859 melakukan penelitian atas beberapa gunung di Jawa. Pada 20-26 Mei 1835 Junghuhn singgah di Gunung Gamping dan melukisnya.Jika kita berkunjung ke Cagar Alam Gunung Gamping, kita akan menemukan bongkahan batu besar yang merupakan monolit terbesar di Pulau Jawa. Menurut penuturan Sugito, fondasi dan benteng Keraton Yogyakarta diambil dari Gunung Gamping. Jika kita mengunjungi situs sejarah yang berada di Dusun Gamping Tengah, Ambarketawang, Gamping, Sleman ini akan menemukan tiga pohon beringin berjenis preh.Di sisi depan ada pohon beringin yang ditanam tahun 1970 oleh Sri Sultan Hamengku Buwono IX dan diberi nama Kyai Dewondaru, serta oleh Sri Paduka Paku Alam VIII dan diberi nama Kyai Praja. Sedangkan di sisi belakang ada sebuah pohon beringin yang ditanam BRM Herjuno Darpito (HB X) tahun 1975 dan diberi nama Kyai Tambakbaya.Saat euforia Yogyakarta sebagai daerah istimewa dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia begitu mengharu biru, bijak jika kita memutar kembali imaji Pangeran Mangkubumi. Pendiri Kesultanan Ngayogyakarta itu mengangankan sebuah wilayah yang harum mewangi karena pemimpinnya berpegang pada moralitas sejarah dan selalu ngupakara kawula alit. Semoga catatan singkat awal tahun 2023 ini menjadi penyadaran bersama. (Wahjudi Djaja, Ketua Umum Keluarga Alumni Sejarah Universitas Gadjah Mada, dari berbagai sumber)
Arsip: